BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas konsep teoritis
yang terkait dengan Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada klien. Mulai dari
Anatomi Fisiologi Madula Spinalis dan Konsep Dasar Medulla Spinalis, serta Konsep Asuhan Keperawatan
Teoritis Pada cidera Medulla Spinalis.
A.
Anatomi Fisisologi
1.
Medula Spinalis
Menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm. 3) medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf
pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen. Lihat pada gambar 2.1 dibawah ini:
Gambar 2.1 Anatomi Medula Spinalis
|
Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula
spinalis dari luar ke dalam antara lain : Dinding kanalis vertebralis
(terdiri atas vertebrae dan ligamen), Lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh darah vena, Duramater, Arachnoid, Ruangan subaraknoid (cavitas
subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis, Piamater, yang kaya dengan
pembuluh-pembuluh darah dan yang Iangsung membungkus
permukaan sebelah luar medula spinalis
Berikut ini dijelaskan segmen-segmen medula spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm. 4) seperti pada gambar 2.2 dibawah
ini:
Gambar 2.2 Segmen-segmen Medula Spinalis
(Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 4)
Medula spinalis terbagi menjadi sedikitnya
30 segmen, yaitu 8 segmen servikal (C), 12 segmen thorax (T), 5 segmen lumbar
(L), 5 segmen sacral (S), dan beberapa segmen coccygeal
(Co). Dari tiap segmen akan keluar beberapa serabut saraf. Medula spinalis Iebih pendek daripada kolumna
vertebralis sehingga segmen medula
spinalis yang sesuai dengan segmen kolumna vertebralis terletak diatas segmen kolumna vertebralis tersebut (Mahadewa dan Maliawan,
2009, hlm. 6)
Dibawah ini dijelaskan mengenai penampang
melintang medula spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm. 7), lihat
pada gambar 2.3 dibawah ini:
Gambar 2.3 Penampang melintang medula spinalis
(Mahadewa dan Maliawan,
2009, hlm. 7)
2.
Kolumna
Vetebralis
Menurut Syaifuddin (2006, hlm. 46) anatomi fisiologi kolumna vetebralis di
klasifikasikan menjadi ruas tulang belakang, bagian – bagian tulang belakang
dan lengkung kolumna vetebralis yang di paparkan sebagai berikut:
a.
Ruas tulang belakang
Bentuk dari
tiap-tiap ruas tulang belakang pada umumnya sama hanya ada perbedaannya sedikit bergantung pada kerja yang
ditanganinya. Ruas-ruas ini terdiri
atas beberapa bagian:
1)
Badan ruas merupakan bagian yang terbesar,
bentuknya tebal dan kuat terletak di sebelah depan
2)
Lengkung ruas, bagian yang melingkari dan
melindungi lubang ruas tulang belakang, teletak di sebelah belakang dan pada bagian ini
terdapat tonjolan yaitu:
a)
Prosesus spinosus/taju duri, terdapat di tengah Iengkung ruas, menonjol
kebelakang
b)
Prosesus transversum/taju sayap, terdapat di
samping kiri dan kanan lengkung ruas
c)
Prosesus artikularis/taju penyendi, membentuk
persendian dengan ruas tulang belakang (vertebralis)
Ruas-ruas tulang belakang ini tersusun dari atas ke bawah
dan di antara masing-masing ruas dihubungkan oleh tulang rawan yang
disebut cakram antar-ruas sehingga tulang belakang bisa tegak dan
membungkuk. Di samping itu di sebelah depan dan belakangnya terdapat kumpulan
serabut-serabut kenyal yang memperkuat kedudukan ruas tulang belakang. Di
tengah bagian dalam ruas-ruas tulang belakang terdapat pula suatu saluran yang
disebut saluran sumsum belakang (kanalis medula spinalis) yang di dalamnya
terdapat sumsum tulang belakang (Syaifuddin,
2006, hlm. 46).
Fungsi ruas tulang belakang menurut Syaifuddin
(2006, hlm. 52) yaitu:
1)
Menahan kepala dari alat – alat tubuh yang
lain
2)
Melindungi alat halus yang ada didalamnya
(sumsum tulang belakang)
3)
Tempat melekatnya tulang iga dan tulang
panggul
4)
Menetukan sikap tubuh
b.
Bagian-bagian tulang belakang
Bagian-bagian tulang belakang menurut Syaifuddin
2006, hlm. 53 adalah sebagai berikut:
1)
Vertebra
servikalis (tulang leher) 7 ruas,
2)
Vertebra torakalis (tulang
punggung) terdiri dari 12 ruas.
3)
Vertebra lumbalis (tulang
pinggang)-terdiri dari 5 ruas.
4)
Vertebra sakralis (tulang
kelangkang) terdiri dari 5 ruas.
5)
Vertebra koksigialis (tulang
ekor) terdiri dari 4 ruas. Ruas-ruasnya kecil dan menjadi sebuah tulang yang disebut juga os koksigialis.
c.
Lengkung Kolumna
Vertebralis
Dilihat dari samping
kolumna vertebralis terlihat ada empat kurva.atau lengkung. Lengkung vertikal, daerah leher melengkung ke depan,
daerah torakal melengkung ke belakang,
daerah lumbal melengkung ke depan dan daerah pelvis melengkung ke belakang. Sendi kolumna vertebralis
dibentuk oleh bantalan tulang rawan yang terletak di antara
tiap dua vertebra yang dikuatkan oleh ligamentum yang berjalan di depan dan di belakang vertebra sepanjang
kolumna vertebralis (Syaifuddin,
2006, hlm. 53).
Cakram antar-badan
vertebra adalah bantalan tebal dari tulang rawan fibrosa yang terdapat di antara badan vertebra yang dapat
bergerak. Gerakan sendi dibentuk antara cakram dan
vertebra dengan gerakan yang terbatas dan gerakannya fleksi, ekstensi, lateral, samping kiri, dan
samping kanan (Syaifuddin,
2006, hlm. 53).
Fungsi kolumna
vertebralis sebagai penopang badan yang kokoh sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang
rawan cakram intervertebralis yang
Iengkungnya memberi fleksibilitas untuk membengkok tanpa patah. Cakram juga berguna untuk meredam goncangan yang
terjadi bila menggerakkan badan seperti waktu berlari dan meloncat,
dengan demikian otak dan sumsum belakang
terlindung terhadap goncangan (Syaifuddin, 2006, hlm. 53).
3. Persarafan Medula Spinalis
Perjalanan serabut
saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua, jalur desenden dan jalur asenden. Jalur desenden terdiri dari traktus kortikospinalis lateralis, traktus kortikospinalis anterior, traktus vetibulopsinalis, traktus rubrospinalis, traktus
retikulospinalis, traktus tektospinalis, fasikulus longitudinalis medianus (Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm.7).
Jalur asenden antara
lain sistem kolumna dorsalis, traktus spinothalamikus, traktus spinocerebellaris dorsalis, traktus spinocerebellar ventralis, dan traktus spinoretikularis.
Terdapat banyak jalur saraf (traktus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5 dibawah ini :
Gambar 2.5 Jalur persyarafan dalam medula spinalis
(Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 8)
4.
Peredaran darah di medula spinalis
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009, hlm. 11) medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal terdiri
dari arteri spinalis
anterior dan posterior serta arteri radikularis. Dapat lihat pada gambar 2.6 dibawah ini:
Gambar 2.6 Vaskularisasi medula spinalis servikalis
(Mahadewa dan Maliawan, 2009, hlm. 11)
a.
Arteri spinalis anterior dibentuk oleh
cabang kanan dan dari segmen intrakranial
kedua arteri vertebralis.
b.
Arteri spinalis
posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c.
Arteria radikularis
dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan anterior.
d.
Sistem anastomosis
anterior adalah cabang terminal arteria radikularis anterior. Cabang terminal
tersebut berjumlah dua, satu menuju rostra
dan yang lain menuju ke caudal dan kedua-duanya berjalan di berjalan di garis tengah permukaan ventral
medula spinalis.
5.
Proses
Penyembuhan Tulang
Kebanyakan patah tulang sembuh
melalui osifikasi endo- kendral. Ketika tulang mengalami
cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut. Namun tulang mengalami regenerasi sendiri (Smeltzer, 2002, hlm. 2266).
Menurut Smeltzer, (2002, hlm. 2266), proses terjadinya penyembuhan tulang
terbagi menjadi 10 yang akan dijelaskan seperti dibawah ini:
a. Inflamasi.'Dengan adanya patah
tulang Terjadi inflamasi, pernbengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dari hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b.
Proliferasi Sel.
Dalam sekitar 5 hari,
hematoma akan mengalami. organisasi Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah,
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan
invasi fibroblast dan osteoblast.
c.
Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, kolagen dan mengontrol) akam menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid).
d.
Pembentukan Kalus. Bentuk kalus dan
volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara
langsung berhabungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perin waktu 3
sampai 4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang
tak bisa lagi digerakkan.
e.
Osifikasi. Pembentukan calus
mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3 minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondral.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras, pemulangan memerlukan waktu 3 sampai
4 bulan.
f. Remodeling. Tahap akhir perbaikan
patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dani pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan
kanselus stres fungsional pada tulang.
B.
Konsep Dasar Cedera Medula Spinalis
1.
Definisi
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula spinalis adalah trauma yang bersifat kompresi akibat
trauma indirek dari atas dan dari bawah.. (Nugroho,2011, hlm 71)
|
|
Gambar 2.8 . A, ilustrasi dislokasi pada servikal
B, foto Rontgen servikal (Arif Mutaqim, 2005, hal. 110)
2.
Etiologi
Menurut Arif
muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera
medula spinalis dalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari
pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur
Chance)
7. Kejatuhan benda keras
3.
Mekanisme Terjadinya Cedera Medula Spinalis
Menurut Arif Muttaqin (2005, hal. 98-99) terdapat
enam mekanisme terjadinya Cedera Medula Spinalis yaitu : fleksi, fleksi dan
rotasi, kompresi vertikal, hiperekstensi, fleksi lateral, dan fraktur
dislokasi. Lebih jelasnya akan dijelaskan dibawaha ini:
a.
Fleksi.
Trauma terjadi akibat
fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
b.
Fleksi dan rotasi.
Trauma jenis ini merupakan
trauma fleksi yang bersama-sama dengan
rotasi.
c.
Kompresi vertikal
(aksial).
Trauma vertikal yang
secara langsung mengenai vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus
pulposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara
vertikal.
d.
Hiperekstensi atau
retrofleksi.
Biasanya terjadi
hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi
dan ekstensi
e.
Fleksi lateral.
Kompresi atau trauma
distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan
fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra, dan sendi faset.
f.
Fraktur dislokasi.
Trauma yang menyebabkan
terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada
tulang belakang.
4.
Jenis-jenis Trauma Pada Sumsum Dan Saraf Tulang Belakang
Menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 99) jenis-jenis trauma pada sumsum tulang belakang dan
saraf tulang belakang adalah:
1)
Transeksi tidak total.
Transeksi tidak total disebabkan oleh trauma fleksi atau ekstensi karena terjadi pergeseran lamina di atap
dan pinggir vertebra yang mengatami fraktur di
sebelah bawah. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada sumsum tulang yang
disebut hematomielia.
2)
Transeksi total. Transeksi total terjadi akibat suatu trauma yang menyebabkan fraktur dislokasi. Fraktur tersebut disebabkan
oleh fleksi atau rotasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi segmen di
bawah trauma.
5.
Patofisiograf
Skema 2.1 Patofisiograf Cedera Tulang Belakang
(Arif Mutaqim, 2005, hal. 100)
6.
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut Mahadewa dan
Maliawan, (2009, hlm148) adalah :
a.
Foto Polos
Pemeriksaan foto polos
terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan
ekstensi mungkin berguna untuk melihat
instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis
spinolamina, artikulasi sendi facet,
jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.
b.
CT Scan
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai elemen posterior
dari medulla spinalis. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti
Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat
digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur
elemen posterior.
c.
MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap
kelainan medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek
seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang
menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang mengganggu penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI,
memungkinkan kita bisa melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula
spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi trauma,
identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi
tulang.
d.
Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Kedua prosedur ini biasanya
dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah terjadinya trauma. Elektromiografi
dapat menunjukkan adanya denervasi pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi
pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral.
Sedangkan
menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 110) pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
1)
Pemeriksaan
Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen,
rnanipulasi penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2,
pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut. Pemeriksaan
posisi AP secara lateral dan
kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.
2)
Diameter
anteroposterior kanal spinal.
3)
Kontur, bentuk, dan kesejajaran
vertebra.
4)
Pergerakan
fragmen tulang dalam kanal spinal.
5)
Keadaan
simetris dari pedikel dan prosesus spinosus Ketinggian
ruangan diskus intervertebralis Pembengkakanjaringan
lunak.
6)
Pemeriksaan CT-scan terutama
untuk melihat fragmentasi dan pergeseran
fraktur dalam kanal spinal.
7)
Pemeriksaan
CT-scan dengan mielografi.
8)
Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam
sumsum medulla spinalis.
7. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma
tulang belakang yaitu :
1)
Pemeriksaan klinik secara
teliti:
a)
Pemeriksaan neurologis
secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan refleks.
b)
Pemeriksaan nyeri lokal
dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan adanya fraktur dislokasi.
c)
Keadaan umum penderita.
2)
Penatalaksanaan fraktur
tulang belakang:
a)
Resusitasi klien.
b)
Pertahankan pemberian
cairan dan nutrisi.
c)
Perawatan kandung kemih
dan usus.
d)
Mencegah dekubitus.
e)
Mencegah kontraktur pada
anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi lainnya.
C.
Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Medula Spinalis
Menurut Arif
Muttaqim, (2005, hlm. 103-107) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien fraktur
lumbal adalah sebagai berikut:
1.
Pengkajian.
a.
Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan
laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor
tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b.
Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan
ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan
otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas
pada daerah trauma.
c.
Riwayat penyakit sekarang.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak,
trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.
Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d.
Masalah penggunaan
obat-obatan adiktif dan alkohol.
e.
Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu
ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang,
seperti osteoporosis dan osteoartritis.
f.
Pengkajian
psikososiospiritual.
g.
Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat
berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan
B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan klien.
3)
Pernapasan.
Perubahan sistem
pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot
pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden
akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan
saraf di medula spinalis terputus. Dalam
beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil
pemeriksaan fisik sebagai berikut.
a)
Inspeksi. Didapatkan klien
batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris.
b)
Respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
c)
Palpasi. Fremitus yang menurun
dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada
rongga toraks.
d)
Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai
pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
e)
Auskultasi. Suara napas
tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret, dan kemampuan batuk menurun sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang
mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
4)
Kardiovaskular
Pengkajian sistem
kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) dengan intensitas sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat.
5)
Persyarafan
a)
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan
fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status
mental.
b)
Pemeriksaan Saraf kranial:
(1)
Saraf I. Biasanya tidak ada
kelainan pada klien cedera tulang belakang dan tidak ada
kelainan fungsi penciuman.
(2)
Saraf II. Setelah dilakukan
tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
(3)
Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak
mata dan pupil isokor.
(4)
Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya
tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
(5)
Saraf VII. Persepsi
pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
(6)
Saraf VIII. Tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
(7)
Saraf XI. Tidak ada atrofi
otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan
fleksi leher dan kaku kuduk
(8)
Saraf XII. Lidah
simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.
c)
Pemeriksaan refleks:
(1)
Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah
karena kelemahan pada otot hamstring.
(2)
Pemeriksaan refleks
patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks
patologis.
(3)
Refleks Bullbo
Cavemosus positif
d)
Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya
sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan
sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat
trauma di daerah tulang belakang
6)
Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
7)
Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering
dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising
usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
8)
Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena
2.
Diagnosa
Keperawatan
Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 14-15) diagnosa keperawatan yang
muncul pada Cedera Medula Spinalis adalah sebagai berikut:
a.
Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan
dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma.
b.
Ketidakefektifan
pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, dan
penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).
c.
Penurunan perfusi jaringan
perifer yang berhubungan dengan penurunan curah jantung akibat hambatan mobilitas fisik.
d.
Nyeri berhubungan dengan
kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot sekunder.
e.
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kemampuan mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan
metabolisme
f.
Risiko tinggi trauma yang
berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
g.
Hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.
h.
Perubahan pola eliminasi
urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf perkemihan.
i.
Gangguan eliminasi
alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
j.
Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan
kelemahan fisik ekstremitas bawah.
k.
Risiko infeksi yang
berhubungan dengan penurunan sistem imun primer (cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas
silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.
l.
Risiko kerusakan integritas
kulit yang berhubungan dengan imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
m.
Perubahan persepsi sensori
yang berhubungan dengan disfungsi persepsi spasial dan
kehilangan sensori.
n.
Ketidakefektifan koping yang
berhubungan dengan prognosis kondisi sakit, program pengoba tan, dan lamanya tirah
baring.
o.
Ansietas yang berhubungan
dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit, dan perubahan status kesehatan/status ekonomi/ fungsi peran.
p.
Ansietas keluarga yang
berhubungan dengan keadaan yang kritis pada
klien.
q.
Risiko ketidakpatuhan
terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan ketegangan akibat krisis situasional.
3.
Intervensi Keperawatan
a.
Nyeri akut
berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien
1)
kaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri
2)
kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan nyeri
3)
Pantau tanda- tanda vital
4)
Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
5)
Kolaborasi dalam pemberian obat Analgetik
b.
Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan fraktur lumbalis
1)
Tingkatkan
mobilitas dan pergerakan yang optimal
2)
Tingkatkan
mobilitas ekstremitas atau Latih rentang pergerakan sendi pasif
3)
Posisikan tubuh
sejajar untuk mencegah komplikasi
4)
Anjurkan
keluarga untuk memandikan klien dengan air hangat.
5)
Ubah
posisi minimal setiap 2 jam sekali
6)
Inspeksi kulit
terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur
c.
Inkontinensia
defekasi bd kerusakan saraf motorik bawah
1)
Kaji adanya
gangguan pola eliminasi (BAB)
2)
observasi
adanya peses di pampers klien
3)
Anjurkan kepada
klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB
4)
Anjurkan kepada
keluarga untuk sering mengawasi klien
5)
Jelaskan kepada
klien tentang adanya gangguan pola eliminasi
d.
Defisit
perawatan diri: mandi
1)
Kaji keadaan
umm klien
2)
Kaji pola
kebersihan klien
3)
Lakukan
personal hygiene (mandi) pada klien
4)
Libatkan
keluarga pada saat memandikan
e.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
1)
Kaji tingkat
pengetahuan klien
2)
Kaji latar
belakang pendidikan klien
3)
Berikan penkes
kepada klien dan keluarga tentang penyakit dan diit makanan yang dapat
mempercepat penyembuhan
4)
Berikan
kesempatan klien untuk bertanya
5)
Evaluasi dari
apa yang telah disampaikan
No comments:
Post a Comment