Thursday, November 8, 2012

askep anemia



BAB II

TINJAUAN TEORITIS


Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang Anatomi Fisiologi Sistem Hematologi: konsep dasar serta Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi: Anemia.
A.    Anatomi Fisiologi Sistem Hematologi
1.      Pengertian Darah
Darah adalah cairan merah yang tidak tembus cahaya, terdiri dari plasma, eritrosit, leukosit, dan trombosit ( Irianto : 2004)
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian ( Pearce, 2007: 133).
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung elektrolit dan merupakan suatu medium pertukaran sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri ( Price, 2005: 247).

2.      Fungsi Darah
Fungsi darah menurut ( Martini, 2001: 624) terdiri atas:
a.       Transportasi untuk membawa nutrisi, hormon dan metabolik
b.      Komposisi jaringan interstitial berfungsi sebagai bahan regulasi untuk Ph dan ion
c.       Tahanan terhadap kehilangan cairan akibat trauma
d.      Agen penahan terhadap toksin dan pathogen
e.       Sebagai stabilisasi temperatur / suhu tubuh

3.      Karakteristik Darah
Darah memiliki karakter fisik khusus menurut ( Scanlon, 2006: 228) sebagai berikut:
a.       Jumlah
Seseorang memiliki empat sampai enam liter darah dalam tubuh, yang tergantung pada ukuran tubuhnya. Sekitar 38% sampai 48% total volume darah dalam tubuh manusia tersusun berbagai sel darah, yang juga disebut “elemen penyusun”. Sisanya, yaitu sekitar 52% sampai 62%, merupakan plasma, bagian cair darah.
b.      Warna
Warna merah disinggung disini meskipun sebenarnya warna merahnya bervariasi. Darah arteri tampak merah terang karena mengandung kadar oksigen tinggi, sedangkan vena telah memindahkan kandungan oksigennya ke jaringan sehingga memiliki warna yang lebih gelap.
c.       Ph
Kisaran Ph normal darah adalah 7,35 sampai 7,45 yang cenderung agak basa. Darah vena biasanya memiliki Ph yang lebih rendah dari pada arteri karena mengandung karbondioksida dalam jumlah lebih besar.


d.      Visikositas
Berarti pengentalan atau tahanan terhadap aliran darah. Darah lebih kental sekitar 3 – 5 kali dibanding air. Visikositas darah meningkat dengan adanya sel – sel darah dan protein plasma, dan kekentalan ini berpengaruh pada tekanan darah normal.

4.      Klasifikasi Darah
Darah terdiri dari dua bagian yaitu :
a.       Plasma Darah
Plasma adalah bagian cair darah, dan sekitar 91% merupakan air. Kemampuan melarutkan air memungkinkan plasma mengangkut berbagai substansi. Nutrien yang diserap dari saluran pencernaan disirkulasi keberbagai jaringan tubuh dan produk sisa dari jaringan diangkut ke  ginjal dan diekskresikan melalui urine ( Scanlon, 2006: 228).
Fungsi plasma yaitu bekerja sebagai medium (perantara) untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa dan asam amino ke jaringan. Juga merupakan medium untuk mengangkat bahan buangan; urea, asam urat, dan sebagian karbondioksida ( Pearce, 2007: 138).
Protein plasma juga terdapat dalam plasma ( Pearce, 2007: 138) yang terdiri dari :
1)       Albumin
Dalam keadaan normal terdapat 3 sampai 5 gram albumin dalam setiap 100 ml darah. Fungsinya yaitu bertanggung jawab atas tekanan asmotik yang mempertahankan volume darah, banyak  zat khusus yang beredar dalam gabungan dengan albumin, dan menyediakan protein untuk jaringan.
2)      Globulin
Globulin adalah antibodi (zat penolak) yang melindungi tubuh.
3)      Fibrinogen
Sangat penting untuk koagulasi (penggumpalan darah).
4)      Reaksi Plasma Darah
Darah selalu bersifat alkalik, kadar kalinya tergantung dari konsentrasi ion – hidrogen dan dinyatakan dengan Ph darah.
b.         Sel – Sel Darah
1)      Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit berbentuk seperti cakram bikonkap yang berarti bagian tengahnya lebih tipis daripada bagian tepinya. Sel darah merah merupakan satu – satunya sel pada tubuh manusia yang tidak memiliki nukleus. Nukleus sel darah merah mengalami disintegrasi selama pemotongan sel darah merah dan menjadi tidak dibutuhkan dalam menjalankan fungsinya.
Jumlah sel darah merah berkisar antara 4,5 – 6 juta per  darah (milimeter kubik sekitar satu tetesan yang sangat kecil). Fungsi sel darah merah mengandung hemoglobin (Hb), yang memberi kemampuan kepada sel darah merah untuk mengangkut oksigen  (Scanlon, 2006: 230)





Gambar 2.1 Sel Darah Merah
(Sumber : Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)

Hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari 4 kandungan heam (berisi zat besi) dan 4 rantai globin (alfa, beta, gama dan delta), berada didalam eritrosit dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah darah ditentukan oleh kadar hemoglobin. Struktur Hb dinyatakan dengan menyebut jumlah dan jenis rantai globin yang ada ( Sutedjo, 2006:  25).






Gambar 2.2 Hemoglobin
(Sumber : Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)

Sel darah merah yang matang utamanya berisi hemoglobin, yang mengangkut oksigen antara paru – paru dan jaringan. Setelah kelahiran  sampai usia 5 tahun, namun di awal usia dewasa sebagian besar  diproduksi dalam sumsum tulang membran, seperti vertebrae, sternum, costae, dan ilia. Dalam sumsum tulang,  melalui suatu proses diferensiasi yang rumit dari sel awal sampai sel matang. Erythropoiesis adalah suatu proses yang menjelaskan tahap – tahap diferensiasi dalam produksi erythrocytes. Proses Erythropoiesis ini memerlukan vitamin , asam folat dan hormon yang disebut erythrocytes immatur yang menempel pada hemoglobin. Rata – rata rentang umur RBC adalah 120 hari. Dua vitamin  yaitu vitamin   dan asam folat merupakan vitamin yang sangat penting untuk proses final pematangan  atau sel darah merah ( Reeves, 2001: 176).





Gambar 2.3 Normal RBC dan Sicled RBC
(Sumber : Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)

2)      Leukosit (Sel Darah Putih)
Ada lima macam sel darah putih; semuanya memiliki ukuran yang lebih besar dari pada sel darah merah dan memiliki nukleus ketika matang, hitung sel darah putih normal (merupakan bagian hitung darah lengkap) adalah 5000 – 10.000 per . Kelima macam sel darah putih diklasifikasikan ke dalam dua kelompok; granular dan tidak bergranula. Leukosit bergranular diproduksi dalam sum-sum tulang merah; yaitu neurofil, easinofil, dan basofil.






Gambar 2.4 Struktur Sel darah Putih
(Sumber : Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)
Yang akan terlihat dengan warna granula yang lebih terang ketika diwarnai. Leukosit tidak bergranula adalah limfosit dan monosit, yang diproduksi pada jaringan limfatik limfa, kelenjar getah bening, dan timus, sebagaimana juga di produksi pada sum-sum tulang merah. Fungsi umum sel darah putih yaitu melindungi tubuh dari penyakit infeksi dan membentuk imunitas terhadap penyakit tertentu. Setiap jenis leukosit memiliki suatu peranan untuk menjaga homoestatis yang sangat penting ( Scanlon, 2006: 238).
Sel – sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi misalnya limfosit yang mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik (bakteri, virus) dan toksin. Limfosit ada dua jenis, yaitu limfosit T dan limfosit B. Perbedaan antara limfosit T dan limfosit B adalah tempat pematangannya. Limfosit B mengalami pematangan di sum – sum tulang, sedang limfosit T mengalami pematangan di timus.
Selain sel darah putih, sekelompok sel yang tersebar luas di saluran jaringan dan membatasi beberapa pembuluh darah dan limpa juga membantu melindungi tubuh terhadap benda asing yang masuk. Sistem ini disebut sistem retikuloendotelial.
3)      Trombosit (Sel Pembeku)
Trombosit adalah sel kecil kira – kira sepertiga ukuran sel darah merah. Terdapat 300.000 trombosit dalam setiap  darah. Peranannya penting dalam penggumpalan darah ( Pearce, 2007: 137)
Tempat produksi trombosit adalah pada sebagian sel induk pada sum – sum tulang merah berdiferensiasi menjadi sel besar yang dinamakan megakariosit. Yang akan dipecah menjadi bagian – bagian kecil yang memasuki sirkulasi. Bagian yang terdapat didalam sirkulasi ini adalah trombosit, yang bisa hidup sekitar 5 – 9 hari, jika tidak digunakan sebelum hari tersebut.
Fungsi trombosit yaitu dibutuhkan untuk memelihara homeostasis, yang berarti mencegah kehilangan darah. Ada 3 mekanisme yang terjadi dan trombosit terkait dalam setiap mekanismenya. Diantara mekanismenya yaitu spasme vaskuler, sumbat trombosit, dan rangsangan untuk pembekuan darah (Scanlon, 2006: 242).
B.     KONSEP DASAR ANEMIA
1.      Pengertian
Anemia adalah perkataan yang berasal daripada bahasa Greek (‘Avolµio) yang membawa pengertian “tiada darah”, merujuk kepada kekurangan sel darah merah (RBC) dan / atau hemoglobin (http://ms.wikipedia.org/wiki/penyakit_anemia : 26 juni 2009).
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat, atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doengos, 1999: 569).
Anemia adalah salah satu penyakit yang sering diderita oleh masyarakat, baik anak – anak, remaja usia subur, ibu hamil ataupun orang tua yang disebabkan karena perdarahan, kekurangan zat besi, vitamin B12, sampai kelainan hemolitik. (www.google.com, DEPKES RI, 2004 : 26 Juni 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal jumlah Sel darah merah, kuantitas hemoglobin ,dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah ( Price, 2005: 256).
Anemia adalah sebuah kondisi dimana kapasitas darah kekurangan oksigen dan dimana konsentrasi hemtokrit dan hemoglobin rendah ( Martini, 2001: 650).



2.      Etiologi
Penyebab anemia antara lain :
a.        Pendarahan.
b.       Kekurangan gizi seperti : zat besi, vitamin B12, dan asam Folat.
c.        Penyakit kronik, seperti gagal ginjal, abses paru, bronkiektasis, empiema, dll.
d.       Kelainan darah.
e.        Ketidaksanggupan sum – sum tulang membentuk sel  sel darah
 ( Mansjoer, dkk; 2001).

3.      Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.      Faktor – Faktor Morfologik Sel Darah Merah
1)      Anemia Normokromik Hormositik
Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung hemoglobin normal (mean corpuscular volume {MCU} dan mean corpuscular hemoglobin concentration {MCHC} normal atau normal rendah) ( Price, 2005: 257).
Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sum – sum tulang ( Price, 2005: 257).
2)      Anemia Normokromik Makrositik
Memiliki sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal. Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi  atau Asam Folat ( Price, 2005: 257).
3)      Anemia Hipokromik Makrositik
Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang karena warna berasal dari hemoglobin, sel – sel ini mengandung hemoglobin dalam jumlah yang berkurang dari normal. Keadaan ini umumnya mencerminkan insufiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis atau gangguan sintesis globulin ( Price, 2005: 257).

b.      Berdasarkan Etiologi
Secara patofisiologi anemi terdiri dari :
1)      Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik
2)      Peningkatan penghancuran : anemia karena pendaraha, anemia homolitik. (http://ms.wikipedia.org/wiki/penyakit_anemia : 26 Juni 2009)
Secara umum anemia dikelompokkan menjadi:
1)      Anemia Defisiensi Besi
Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Gejalanya yaitu luka – luka disudut mulut atau bibir, kuku menjadi rapuh, sebagian datar, yang disebabkan makanan yang tidak cukup mengandung Fe. Fe tidak cukup diresorpsi, pendarahan, infeksi dan darahnya hancur ( Price, 2005: 260).
2)      Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik (sel darah besar) diklasifikasikan secara morfologis sebagai anemia makrositik nomokromik. Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin  dan asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai kegagalan maturasi dan pembelahan inti (Guyton, 2001), defisiensi ini dapat sekunder akibat malnutrisi, defisiensi asam folat, malabsopsi, kekurangan faktor intrinsik, seperti pada anemia pernisiosa dan pasca gastrektomi ( Price, 2005: 261).
3)      Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan gangguan yang mengancam jiwa pada sel induk di sum – sum tulang, yang sel – sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi.
Penyebab – penyebab sekunder anemia aplastik menurut
( Price, 2005: 258) adalah sebagai berikut:
a)      Lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun
b)    Agen antineoplastik atau sitotoksik
c)      Terapi radiasi
d)     Antibiotik tertentu
e)      Berbagai obat seperti antikomulson, obat – obat tiroid, senyawa emas, dan fenilbutazon
f)       Zat – zat kimia seperti benzen, pelarut organik, dan insektisida (agen yang diyakini merusak sum – sum tulang secara langsung
g)        Penyakit – penyakit virus seperti mononukleosis infeksiosa dan human imunodeficiency virus (HIV), anemia aplastik setelah hepatitis virus terutama berat dan cenderung fatal.
Manifestasi klinis dari anemia aplastik :
a.       Awitan bertahap ditandai dengan kelemahan dan pucat; sesak napas saat latihan.
b.      Perdarahan abnormal pada sepertiga pasien.
c.       Adanya granulosit ditunjukkan dengan demam, faringitis akut, bentuk sepsis lain dan perdarahan  (Smeltzer,dkk; 2001: 26).
Dalam berbagai keadaan, anemia aplastik terjadi saat obat atau bahan kimia masuk dalam jumlah toksik. Namun pada beberapa orang, dapat timbul pada dosis yang dianjurkan untuk pengobatan (Smeltzer,dkk; 2001: 939).
4)      Anemia Hemolitika
Pada anemia hemolitika, eritrosit memiliki rentang usia yang memendek. Sum – sum tulang biasanya mampu mengkompensasi sebagian dengan memproduksi sel darah merah baru tiga kali atau lebih dibanding kecepatan normal.
Konsekuensinya semua anemia jenis ini mempunyai gambaran laboratoris yang sama yaitu jumlah retikulosit meningkat, fraksi bilirubin indirek meningkat dan haptaglobin (protein yang mengikat hemoglobin bebas) biasanya rendah. Sum – sum tulang menjadi hiperseluler akibat proliferasi eritrosit (Smeltzer,dkk; 2001: 943).
5)      Anemia Hemolitika Turunan
a)      Anemia Sferositosis Turunan
Sferositosis turunan merupakan suatu anemia hemolitika ditandai dengan sel darah merah kecil berbentuk sferis dan pembesaran limpa (splenomegali) merupakan kelainan yang jarang, diturunkan secara dominan. Kelainan ini biasanya terdiagnosa pada anak – anak namun dapat terlewat sampai dewasa karena gejalanya sangat sedikit, penanganannya berupa pengambilan limpa secara bedah (Smeltzer,dkk; 2001: 943).
b)      Anemia Sel Sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat adanya defek pada molekul hemoglobin yang disertai serangan nyeri. Defeknya adalah satu substitusi asam amino pada ranta β hemoglobin. Karena hemoglobin anormal mengandung 2 rantai α dan 2 rantai β, maka terdapat 2 gen untuk sintesa tiap rantai (Smeltzer,dkk; 2001: 943).

4.      Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan kegagalan sum – sum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum – sum (berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi). Diakibat defeks dari sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin, yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptaglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin  bebas) untuk mengikat semuanya. Hemoglobin akan terdisfusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin. Jadi ada atau tidaknya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberitahu informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal. Pada pasien dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses hemolitik tersebut (Smeltzer,dkk; 2001: 935).





-   Intoleransi aktifitas
-   Kelemahan
-   Keletihan
-   Malise umum
Metabolisme tanpa
Perubahan perfusi jaringan
-   Kulit pucat
-   Ekstremitas dingin
-   Perubahan tekanan darah
-   Pengisian kapiler lambat

ATP menurun
-   Pusing
-   Penurunan konsentrasi
-   Penglihatan berkunang - kunang
 ke otak berkurang
Perdarahan (Hemolisis)
Berkurangnya Sel darah merah
Berkurangnya eritroposis
Nutrisi
Hb menurun (Anemia)
Zat transportasi  berkurang
Kegagalan sum-sum tulang
 














Skema 2.5
(Ringkasan skematis yang dirumuskan dari
teori Brunner & Suddarth, 2001)

5.      Manifestasi Klinis
Gejala anemia tergantung pada kelainan yang mendasarinya serta tingkat keparahan dan lamanya onset anemia, makin cepat berkembangnya, maka akan makin berat gejala – gejalanya.


Adapun tanda & gejala anemia sebagai berikut :
a.       Tanda – tanda dan gejalan – gejala umum (Baughman, 2006: 23).
1)      Kelemahan, keletihan, malaise umum
2)      Pucat pada kulit dan membran mukosa
3)      Sakit kepala
4)      Penglihatan berkunang – kunang (dizzyness)
5)      Susah konsentrasi
b.      Pada anemia yang lebih berat atau yang onsetnya cepat (Davey, 2005: 78).
1)      Kelelahan
2)      Edema perifer, misalnya bengkok pada kaki
3)      Sesak nafas; terutama jika ada penyakit jantung atau paru.
4)      Angina, jika ada penyakit jantung koroner, yang mungkin tidak diketahui sebelum timbulnya anemia.
c.       Gejala – gejala spesifik pada kadar hemoglobin (Baughman, 2006: 23).
1)      Sedikit takikardia pada aktivitas (Hb 9-11 g / dl)
2)      Dispnea pada aktivitas (Hb dibawah 7 g / dl)
3)      Kelemahan (Hb dibawah 6 g / dl)
4)      Dispnea pada saat istirahat (Hb dibawah 3 g / dl)
5)      Gagal jantung hanya pada kadar yang sangat rendah misalnya 2 – 2,5 g / dl.



6.      Penatalaksanaan
Anemia merupakan kelainan fisiologis; bukan suatu diagnosis. Oleh karenaya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa penyakit. Adapun penatalaksanaan anemia menurut Smeltzer, 2001: 939 – 941 adalah sebagai berikut :
a.       Anemia Aplastik : anemia aplastik mempunyai prognosis yang sangat buruk. Dua metode penanganan yang saat ini sering dilakukan yaitu tranplantasi sum – sum tulang, pemberian terapi imunosupresif dengan globulin antitimosit (ATG), dan transfusi darah
b.      Anemia Defisiensi besi : berbagai preparat besi oral tersedia untuk penanganannya : sulfat ferosus, glukonat ferosus dan fumanat ferosus dan fumarat ferosus dan anjurkan makan sumber makanan tinggi besi, dan pemilihan diet seimbang sangat dianjurkan. Transfusi darah hanya diberikan pada Hb < 5 g / dl
c.       Anemia Megaloblastik : pemberian vitamin  diberikan tiap hari, namun kemungkinan kebanyakan pasien dapat di tangani dengan pemberian vitamin  100 g 1 M tiap bulan dan penanganan meliputi diet serta penambahan asam folat 1 mg per hari.

7.      Pemeriksaan Penunjang
Gambaran klinis dan ciri morfologis eritrosit mengharuskan dibuatnya apusan darah tepi. Pemeriksaan berikut seringkali bermanfaat menurut  Davey, 2005:  79 adalah sebagai berikut :
a.       Menentukan status hematinik (simpanan Fe, vitamin  dan folat)
b.      Apus darah tepi bisa menegakkan diagnosis penyakit hematologis primer dan juga penyakit sistemik
c.       Hitung darah lengkap untuk mencari jumlah leukosit atau trombosit bisa membantu kenaikan jumlah leukosit menunjukkan :
d.      Pemeriksaan apus sum – sum tulang, jarang digunakan
e.       Biokimiawi ginjal dan hati bisa menegakkan diagnosis kelainan organ spesifik yang mendasari.
f.       Penanda peradangan (laju endap darah {LED} atau protein reaktif – C {CRP} seringkali meningkat pada anemia akibat penyakit kronis, seperti keganasan di seminata, sepsis atau vaskulitis
g.      Keadaan tiroid : hipotiroidisme bisa menyebabkan anemia makrositik atau normositik.
h.      Kultur darah bisa bermanfaat bila ada dengan sepsis.

C.  Konsep Dasar penyembuhan Luka
1.       Pengertian
Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak sel. Proses yang dimaksudkan disini karena penyembuhan luka melalui beberapa fase. Fase tersebut meliputi : koagulasi, imflamasi, proliferasi, dan remodeling (Suryadi, 2007: 5).





2.       Fase – Fase Penyembuhan Luka
a)      Fase Koagulasi dan Imflamasi
Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Kemudian segera setelah injury, penyembuhan suatu flug fibrin dan sel – sel radang dan dengan cepat masuk ke dalam luka (Hunt TK, 2003). Awal  pengeluaran platelet menyebabkan vasokonstriksi dan terjadi koagulasi dan pada fase inflamasi mulainya dalam beberapa menit setelah luka dan kemudian dapat berlangsung sampai beberapa hari. Selama fase ini, sel – sel inflamatory terikat dalam luka dan aktif melakukan pergerakan dengan lekosites (Polymorphonuclear Leukocytes atau Neutropbil). Yang pertama kali muncul dalam luka adalah neutropil. Neutropil akan mempagosit kemudian membunuh bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan untuk jaringan baru (Suryadi, 2007: 6).
b)      Fase Proliferasi Dan Remodeling
Apabila tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka akan cepat terjadi fase proferasi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses granulasi dan konstraksi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka, pada fase ini makrofag dan lymphocytes masih ikut berperan, tipe sel epitelial, fibroblast, dan sel endotelial. Proses ini tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen dan faktor pertumbuhan. Fase proliferasi biasanya mulainya 3 hari setelah injury (Suryadi, 2007: 10).
Pada fase remodeling yaitu banyak terdapat komponen matriks. Serabut–serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang utama pada matrik serabut kolagen menyebar dengan saling terikat dan menyatu dan berangsur – angsur menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan 5 karakter tergantung pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus – menerus (Suryadi, 2007: 11).

3.       Fisiologi Penyembuhan Luka
Injuri Jaringan
Hemoragik, aktivasi platelet dan degranulasi, aktivasi komplemen, pembekuan dan hemotasis
 



Rekrut sel melalui kemotaksis, fagositosis dan debridement
Pengeluaran sitokain, dan mediator bioaktif lain, pertumbuhan sel dan aktivasi, reepitelialisasi fagositosis dan debridement
Terputusnya jaringan baru, remodeling ekstraseluler matrik dan penutupan luka
Neovaskularisasi, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi luka
 







Skema 2.6
Fisiologi penyembuhan luka
(Fisiologi Penyembuhan Luka, Suryadi, 2007)





4.       Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka terutama pada luka kronik adalah suatu proses kompleks yang meliputi berbagai macam faktor interaksi untuk perbaikan struktur dan fungsi setelah jaringan mengalami injury.
Adapun faktor umum yang dapat mengganggu penyembuhan luka seperti : usia, insufisiensi perfusi oksigen, malnutrisi, meningkatnya tingkat bakteri, jaringan luka yang sudah tua, karena tertekan, stress psikologis, dan efek samping dari terapi.
Kurangnya masukan oksigen dan perfusi; penyembuhan luka akan tergantung pada suplai oksigen. Hal ini karena oksigen merupakan kritikal untuk leukosit dalam menghancurkan bakteri dan untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. Selain itu dengan kekurangan oksigen dapat menghambat aktivitas fagositosis. Bila netrofil dan makrofag memakan benda asing atau mikroorganisme, oksigen lebih banyak dibutuhkan untuk selama fase istirahat. Dalam keadaan anemia faktor penting adalah terjadi penurunan oksigen jaringan dan menghambat penyembuhan luka, namun pada anemia tahap ringan tidak menghasilkan penghambatan dalam penyembuhan luka, kecuali anemia yang berat atau hematokrit kurang dari 20mg%, jadi terkait dengan pasien anemia dan pengaruhnya pada penyembuhan luka adalah tidak adekuatnya sirkulasi volume (Suryadi, 2007: 94).
Terkait pada kasus anemia, khususnya anemia aplastik pada insidennya di perkirakan oleh adanya faktor lingkungan seperti  pemakaian obat – obat  yang tidak pada tempatnya dan merupakan salah satu pencetus utama penyakit anemia, sehingga dapat di kaitkan pada faktor penghambat penyembuhan luka (Http:/ ms. wikipedia. org/ wiki/ penyakit anemia: 26 Juni 2009).

D.    Asuhan Keperawatan secara teoritis pada Klien dengan Ganguan Sistem Hematologi : Anemia (Pendarahan)
Proses keperawatan adalah metode pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan pemecahan masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya.
Adapun tahap-tahap dalam asuhan keperawatan terdiri dari serangkaian dari lima komponen atau tahap, yaitu : pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.      Pengkajian
Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya (Doengoes, 1999: 6).
Adapun pengkajian dasar menurut (Doengoes, 2000: 569 – 581) pada klien anemia adalah:
a.        Data biografi meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor registrasi medik, ruangan dan diagnosa medis.
b.        Riwayat kesehatan yang lalu berupa penyakit dahulu yang berhubungan dengan keluhan sekarang.
c.        Riwayat keluhan sekarang meliputi kapan keluhan itu timbul, apakah sudah berobat dan keluhan apa yang dirasakan.
d.       Data keluhan fisiologis dasar
1)      Aktifitas / istirahat
Gejala                      : Keletihan, kelemahan, malaise umum, kehilangan produktivitas, kebutuhan untuk tidur, toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda                      :     Takikardi/takipnea; dispnea pada bekerja dan istirahat.
Lethargi, menarik diri, apatis,lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksi, tubuh tidak tegak.
2)      Sirkulasi
Gejala                      :     Riwayat kehilangan darah kronis, palpitasi.
Tanda                      :     TD: peningkatan sistolik dengan diastolic stabil dan Tekanan nadi melebar; hipotensi postural.
Disritmia: Abnormalitas EKG.
Bunyi jantung: Murmur sistolik (DB).
Ekstremitas (warna): pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjugtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku.
Sclera: Biru atau putih seperti mutiara.
Pengisian kapiler lambat.
3)      Integritas ego
Gejala                      :    Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pilihan pengobatan misalnya, penolakan transfusi darah.
Tanda                       :    Depresi.
4)      Eleminasi
Gejala                      :     Riwayat pielonefritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsorpsi.
Hematemesis, feses dengan darah segar, melena.
Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
Tanda                      :     Distensi abdomen.
5)      Makanan / cairan
Gejala                      :     Penurunan masukan diet, nyeri mulut atau lidah, mual muntah, adanya penurunan berat badan.
Tanda                       :     Membran mukosa kering atau pucat, turgor kulit buruk.
6)      Hygiene     
   Tanda                    :     Kurang bertenaga, penampilan tidak rapi.
7)      Neurosensori
   Gejala                    :     Sakit kepala, insomnia, kelemahan.
   Tanda                    :     Peka rangsang, mental lambat, oftalmig, epistaksis.
8)      Nyeri/kenyamanan
   Gejala                    :     Nyeri abdomen samar, sakit kepala.
9)      Pernapasan
   Gejala                    :     Riwayat TB, abses paru.
Napas pendek pada saat istirahat dan aktivitas.
   Tanda                    :     Takipnea, ortopnea, dan dispnea.
10)  Keamanan
   Gejala                    :     Riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia, riwayat kanker, tidak toleran terhadap dingin / panas,  gangguan penglihatan.
   Tanda                    :     Demam rendah, petekie dan ekimosis.
11)  Seksualitas
   Gejala                   :     Perubahan aliran menstruasi, hilang libido, impotent.
   Tanda                    :     Serviks dan dinding vagina pucat.


2.      Diagnosa dan Intervensi Keperawatan :
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (NANDA), sedangkan intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku yang diharapkan dari pasien dan / atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Adapun diagnosa pada klien dengan anemia adalah sebagai berikut:
a.       Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutriasi ke sel. Hasil yang diharapkan / evaluasi : menunjukkan perfusi adekuat misalnya TTV stabil, membran mukosa berwarna merah muda, pengisian kapiler baik, pengeluaran urin adekuat; mental seperti biasa.
Intervensi:
1)      Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa, dasar kuku.
2)      Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
3)      Awasi pernafasan, auskultasi bunyi nafas.
4)      Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
5)      Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, bingung.
6)      Orientasikan pasien sesuai kebutuhan.
7)      Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi.
8)      Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas.
9)      Kolaborasi pemeriksaan laboratorium.
10)  Berikan SDM darah lengkap.
11)  Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

b.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas, menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi misalnya, TD, nadi, pernafasan masih dalam rentang normal.
Intervensi:
1)      Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas, catat laporan kelelahan, keletihan dan kesulitan menyelesaikan tugas.
2)      Kaji kehilangan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot.
3)      Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah aktivitas.
4)      Berikan lingkungan tenang.
5)      Ubah posisi pasien dengan perlahan atau pantau terhadap pusing.
6)      Prioritaskan jadwal  asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
7)      Berikan bantuan dalam aktivitas / ambulasi bila perlu.
8)      Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien.
9)      Gunakan teknik penghematan energi misalnya, mandi dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas.
10)  Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, kelemahan atau pusing terjadi.
c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan yang diperlukan untuk pembentukan SDM normal.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : menunjukkan peningkatan, tidak mengalami tanda malnutrisi, menunjukan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan berat badan yang sesuai.
Intervensi:
1)      Kaji riwayat nutrisi.
2)      Observasi dan catat masukan makanan pasien.
3)      Timbang berat badan tiap hari.
4)      Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering.
5)      Observasi dan catat kejadian nual muntah, platus dan gejala lain.
6)      Berikan dan bantu hygiene yang baik.
7)      Konsul pada ahli gizi.
8)      Pantau pemeriksaan laboratorium.
9)      Berikan obat sesuai indikasi.
10)  Berikan diet halus, rendah serat, hindari makanan panas / pedas atau asam.
11)  Berikan suplemen nutrisi.

d.      Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist (anemia).
Hasil yang diharapkan / evaluasi : mempertahankan integritas kulit, mengidentifikasi faktor resiko / perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.
Intervensi:
1)      Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor.
2)      Ubah posisi secara periodik.
3)      Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih.
4)      Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.

e.       Diare atau konstipasi berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan proses pencernaan, efek samping terapi obat.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : membuat atau mengembalikan pola normal dari fungsi usus, menunjukkan perubahan perilaku pola hidup yang diperlukan sebagai penyebab, faktor pemberat.
Intervensi:
1)      Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
2)      Auskultasi bunyi usus.
3)      Awasi masukan dan pengeluaran dengan perhatian usus pada makanan.
4)      Dorong masukan cairan 2500 – 3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
5)      Hindari makanan yang berbentuk gas.
6)      Kaji kondisi kulit perianal dengan sering.
7)      Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang dengan tinggi serat.
f.       Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : mengidentifikasi perilaku untuk mencegah atau menurunkan resiko, meningkatkan penyembuhan luka, bebas drinase atau eritema, dan demam.
Intervensi:
1)      Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien.
2)      Pertahankan teknik aseptik ketat pada prosedur perawatan luka.
3)      Berikan perawatan kulit perianal dan oral dengan cermat.
4)      Dorong perubahan posisi / ambulasi yang sering.
5)      Tingkatkan masukan cairan adekuat.
6)      Pantau atau batasi pengunjung.
7)      Pantau suhu.
8)      Amati eritema / cairan luka.
9)      Ambil spesimen untuk kultur atau sensitifitas sesuai indikasi.
10)  Berikan antiseptik topikal, anti biotik sistemik.

g.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostik, dan rencana pengobatan, mengidentifikasi factor penyebab, melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi:
1)      Berikan informasi tentang anemia spesifik.
2)      Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostik.
3)      Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium tidak akan memperburuk anemia.
4)      Tinjau perubahan diet yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diet khusus.
5)      Dorong untuk menghentikan merokok.
6)      Instruksikan dan peragakan pemberian mandiri preparat besi oral.
7)      Diskusikan pentingnya hanya meminum obat yang diresepkan.
8)      Sarankan minum obat dengan makanan atau segera setelah makan.
9)      Tekankan pentingnya memelihara kebersihan mulut.