BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang
Anatomi Fisiologi Sistem Hematologi: konsep dasar serta Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi: Anemia.
A. Anatomi Fisiologi Sistem Hematologi
1. Pengertian Darah
Darah adalah cairan merah yang tidak tembus cahaya, terdiri
dari plasma, eritrosit, leukosit, dan trombosit ( Irianto : 2004)
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian (
Pearce, 2007: 133).
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan
koloid cair yang mengandung elektrolit dan merupakan suatu medium pertukaran
sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat
protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri ( Price, 2005: 247).
2. Fungsi Darah
Fungsi darah menurut
( Martini, 2001: 624)
terdiri atas:
a.
Transportasi untuk membawa nutrisi, hormon dan
metabolik
b.
Komposisi jaringan interstitial berfungsi sebagai bahan
regulasi untuk Ph dan ion
c.
Tahanan terhadap kehilangan cairan akibat trauma
d.
Agen penahan terhadap toksin dan pathogen
e.
Sebagai stabilisasi temperatur / suhu tubuh
3. Karakteristik Darah
Darah memiliki
karakter fisik khusus menurut ( Scanlon, 2006: 228) sebagai berikut:
a.
Jumlah
Seseorang memiliki
empat sampai enam liter darah dalam tubuh, yang tergantung pada ukuran
tubuhnya. Sekitar 38% sampai 48% total volume darah dalam tubuh manusia
tersusun berbagai sel darah, yang juga disebut “elemen penyusun”. Sisanya,
yaitu sekitar 52% sampai 62%, merupakan plasma, bagian cair darah.
b.
Warna
Warna merah
disinggung disini meskipun sebenarnya warna merahnya bervariasi. Darah arteri
tampak merah terang karena mengandung kadar oksigen tinggi, sedangkan vena
telah memindahkan kandungan oksigennya ke jaringan sehingga memiliki warna yang
lebih gelap.
c.
Ph
Kisaran Ph normal
darah adalah 7,35 sampai 7,45 yang cenderung agak basa. Darah vena biasanya
memiliki Ph yang lebih rendah dari pada arteri karena mengandung karbondioksida
dalam jumlah lebih besar.
d.
Visikositas
Berarti
pengentalan atau tahanan terhadap aliran darah. Darah lebih kental sekitar 3 –
5 kali dibanding air. Visikositas darah meningkat dengan adanya sel – sel darah
dan protein plasma, dan kekentalan ini berpengaruh pada tekanan darah normal.
4. Klasifikasi Darah
Darah terdiri dari dua bagian yaitu :
a.
Plasma Darah
Plasma adalah
bagian cair darah, dan sekitar 91% merupakan air. Kemampuan melarutkan air
memungkinkan plasma mengangkut berbagai substansi. Nutrien yang diserap dari
saluran pencernaan disirkulasi keberbagai jaringan tubuh dan produk sisa dari
jaringan diangkut ke ginjal dan diekskresikan
melalui urine ( Scanlon, 2006: 228).
Fungsi plasma
yaitu bekerja sebagai medium (perantara) untuk penyaluran makanan, mineral,
lemak, glukosa dan asam amino ke jaringan. Juga merupakan medium untuk mengangkat
bahan buangan; urea, asam urat, dan sebagian karbondioksida ( Pearce, 2007: 138).
Protein plasma
juga terdapat dalam plasma ( Pearce,
2007: 138) yang terdiri
dari :
1)
Albumin
Dalam keadaan
normal terdapat 3 sampai 5 gram albumin dalam setiap 100 ml darah. Fungsinya
yaitu bertanggung jawab atas tekanan asmotik yang mempertahankan volume darah,
banyak zat khusus yang beredar dalam
gabungan dengan albumin, dan menyediakan protein untuk jaringan.
2)
Globulin
Globulin adalah
antibodi (zat penolak) yang melindungi tubuh.
3)
Fibrinogen
Sangat penting
untuk koagulasi (penggumpalan darah).
4)
Reaksi Plasma Darah
Darah selalu
bersifat alkalik, kadar kalinya tergantung dari konsentrasi ion – hidrogen dan
dinyatakan dengan Ph darah.
b.
Sel – Sel Darah
1)
Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit
berbentuk seperti cakram bikonkap yang berarti bagian tengahnya lebih tipis
daripada bagian tepinya. Sel darah merah merupakan satu – satunya sel pada
tubuh manusia yang tidak memiliki nukleus. Nukleus sel darah merah mengalami
disintegrasi selama pemotongan sel darah merah dan menjadi tidak dibutuhkan
dalam menjalankan fungsinya.
Jumlah sel darah
merah berkisar antara 4,5 – 6 juta per
darah
(milimeter kubik sekitar satu tetesan yang sangat kecil). Fungsi sel darah
merah mengandung hemoglobin (Hb), yang memberi kemampuan kepada sel darah merah
untuk mengangkut oksigen (Scanlon, 2006: 230)
Gambar
2.1 Sel Darah Merah
(Sumber
: Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)
Hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari 4 kandungan heam (berisi
zat besi) dan 4 rantai globin (alfa, beta, gama dan delta), berada didalam
eritrosit dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna
merah darah ditentukan oleh kadar hemoglobin. Struktur Hb dinyatakan dengan
menyebut jumlah dan jenis rantai globin yang ada ( Sutedjo, 2006: 25).
Gambar
2.2 Hemoglobin
(Sumber : Fundamental of Anatomy
& Physiology, 2001)
Sel darah merah
yang matang utamanya berisi hemoglobin, yang mengangkut oksigen antara paru –
paru dan jaringan. Setelah kelahiran
sampai usia 5
tahun, namun di awal usia dewasa sebagian besar
diproduksi
dalam sumsum tulang membran, seperti vertebrae, sternum, costae, dan ilia.
Dalam sumsum tulang,
melalui suatu
proses diferensiasi yang rumit dari sel awal sampai sel matang. Erythropoiesis
adalah suatu proses yang menjelaskan tahap – tahap diferensiasi dalam produksi
erythrocytes. Proses Erythropoiesis ini memerlukan vitamin
, asam folat dan hormon yang disebut erythrocytes
immatur yang menempel pada hemoglobin. Rata – rata rentang umur RBC adalah 120
hari. Dua vitamin yaitu vitamin
dan asam
folat merupakan vitamin yang sangat penting untuk proses final pematangan
atau sel
darah merah ( Reeves, 2001: 176).
Gambar
2.3 Normal RBC dan Sicled RBC
(Sumber
: Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)
2)
Leukosit (Sel Darah Putih)
Ada lima macam sel
darah putih; semuanya memiliki ukuran yang lebih besar dari pada sel darah
merah dan memiliki nukleus ketika matang, hitung sel darah putih normal
(merupakan bagian hitung darah lengkap) adalah 5000 – 10.000 per
. Kelima macam sel darah putih diklasifikasikan ke dalam
dua kelompok; granular dan tidak bergranula. Leukosit bergranular diproduksi
dalam sum-sum tulang merah; yaitu neurofil, easinofil, dan basofil.
Gambar 2.4 Struktur Sel darah Putih
(Sumber : Fundamental of Anatomy & Physiology, 2001)
Yang akan terlihat
dengan warna granula yang lebih terang ketika diwarnai. Leukosit tidak
bergranula adalah limfosit dan monosit, yang diproduksi pada jaringan limfatik
limfa, kelenjar getah bening, dan timus, sebagaimana juga di produksi pada
sum-sum tulang merah. Fungsi umum sel darah putih yaitu melindungi tubuh dari
penyakit infeksi dan membentuk imunitas terhadap penyakit tertentu. Setiap
jenis leukosit memiliki suatu peranan untuk menjaga homoestatis yang sangat
penting ( Scanlon, 2006:
238).
Sel – sel darah putih
yang berfungsi melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi misalnya
limfosit yang mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik
(bakteri, virus) dan toksin. Limfosit ada dua jenis, yaitu limfosit T dan
limfosit B. Perbedaan antara limfosit T dan limfosit B adalah tempat
pematangannya. Limfosit B mengalami pematangan di sum – sum tulang, sedang
limfosit T mengalami pematangan di timus.
Selain sel darah
putih, sekelompok sel yang tersebar luas di saluran jaringan dan membatasi
beberapa pembuluh darah dan limpa juga membantu melindungi tubuh terhadap benda
asing yang masuk. Sistem ini disebut sistem retikuloendotelial.
3)
Trombosit (Sel Pembeku)
Trombosit adalah
sel kecil kira – kira sepertiga ukuran sel darah merah. Terdapat 300.000
trombosit dalam setiap
darah. Peranannya
penting dalam penggumpalan darah ( Pearce, 2007: 137)
Tempat produksi
trombosit adalah pada sebagian sel induk pada sum – sum tulang merah
berdiferensiasi menjadi sel besar yang dinamakan megakariosit. Yang akan
dipecah menjadi bagian – bagian kecil yang memasuki sirkulasi. Bagian yang
terdapat didalam sirkulasi ini adalah trombosit, yang bisa hidup sekitar 5 – 9
hari, jika tidak digunakan sebelum hari tersebut.
Fungsi trombosit yaitu
dibutuhkan untuk memelihara homeostasis, yang berarti mencegah kehilangan
darah. Ada 3 mekanisme yang terjadi dan trombosit terkait dalam setiap
mekanismenya. Diantara mekanismenya yaitu spasme vaskuler, sumbat trombosit, dan
rangsangan untuk pembekuan darah (Scanlon, 2006: 242).
B. KONSEP DASAR ANEMIA
1. Pengertian
Anemia adalah perkataan yang berasal daripada bahasa
Greek (‘Avolµio) yang membawa pengertian “tiada darah”, merujuk kepada
kekurangan sel darah merah (RBC) dan / atau hemoglobin (http://ms.wikipedia.org/wiki/penyakit_anemia
: 26 juni 2009).
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari,
seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat, atau kurang nutrisi yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas
pengangkut oksigen darah (Doengos, 1999: 569).
Anemia adalah salah satu penyakit yang sering diderita
oleh masyarakat, baik anak – anak, remaja usia subur, ibu hamil ataupun orang
tua yang disebabkan karena perdarahan, kekurangan zat besi, vitamin B12, sampai
kelainan hemolitik. (www.google.com,
DEPKES RI, 2004 : 26 Juni 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal
jumlah Sel darah merah,
kuantitas hemoglobin ,dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml
darah ( Price, 2005: 256).
Anemia adalah sebuah kondisi dimana kapasitas darah
kekurangan oksigen dan dimana konsentrasi hemtokrit dan hemoglobin rendah (
Martini, 2001: 650).
2. Etiologi
Penyebab anemia antara lain :
a.
Pendarahan.
b.
Kekurangan gizi seperti : zat besi, vitamin B12, dan
asam Folat.
c.
Penyakit kronik, seperti gagal ginjal, abses paru,
bronkiektasis, empiema, dll.
d.
Kelainan darah.
e.
Ketidaksanggupan sum – sum tulang membentuk sel sel darah
( Mansjoer, dkk; 2001).
3. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Faktor – Faktor Morfologik Sel Darah Merah
1)
Anemia Normokromik Hormositik
Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal
serta mengandung hemoglobin normal (mean corpuscular volume {MCU} dan mean
corpuscular hemoglobin concentration {MCHC} normal atau normal rendah) ( Price,
2005: 257).
Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah
akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sum – sum tulang ( Price, 2005:
257).
2)
Anemia Normokromik Makrositik
Memiliki sel darah merah lebih besar dari normal
tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal. Keadaan ini disebabkan
oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA)
seperti yang ditemukan pada defisiensi
atau Asam
Folat ( Price, 2005:
257).
3)
Anemia Hipokromik Makrositik
Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromik berarti
pewarnaan yang berkurang karena warna berasal dari hemoglobin, sel – sel ini
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang berkurang dari normal. Keadaan ini
umumnya mencerminkan insufiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi, seperti
pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis atau gangguan sintesis
globulin ( Price, 2005: 257).
b. Berdasarkan Etiologi
Secara patofisiologi anemi terdiri dari :
1)
Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik
2)
Peningkatan penghancuran : anemia karena pendaraha,
anemia homolitik. (http://ms.wikipedia.org/wiki/penyakit_anemia
: 26 Juni 2009)
Secara umum anemia dikelompokkan menjadi:
1)
Anemia Defisiensi Besi
Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan
sebagai anemia mikrositik hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis
hemoglobin. Gejalanya yaitu luka – luka disudut mulut atau bibir, kuku menjadi
rapuh, sebagian datar, yang disebabkan makanan yang tidak cukup mengandung Fe.
Fe tidak cukup diresorpsi, pendarahan, infeksi dan darahnya hancur ( Price,
2005: 260).
2)
Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik (sel darah besar)
diklasifikasikan secara morfologis sebagai anemia makrositik nomokromik. Anemia
megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin
dan asam
folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai kegagalan maturasi dan
pembelahan inti (Guyton, 2001), defisiensi ini dapat sekunder akibat
malnutrisi, defisiensi asam folat, malabsopsi, kekurangan faktor intrinsik, seperti
pada anemia pernisiosa dan pasca gastrektomi ( Price, 2005: 261).
3)
Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan gangguan yang mengancam jiwa
pada sel induk di sum – sum tulang, yang sel – sel darahnya diproduksi dalam
jumlah yang tidak mencukupi.
Penyebab –
penyebab sekunder anemia aplastik menurut
( Price, 2005: 258) adalah sebagai berikut:
a)
Lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun
b)
Agen antineoplastik atau sitotoksik
c)
Terapi radiasi
d)
Antibiotik tertentu
e)
Berbagai obat seperti antikomulson, obat – obat tiroid,
senyawa emas, dan fenilbutazon
f)
Zat – zat kimia seperti benzen, pelarut organik, dan
insektisida (agen yang diyakini merusak sum – sum tulang secara langsung
g)
Penyakit – penyakit virus seperti mononukleosis
infeksiosa dan human imunodeficiency virus (HIV), anemia aplastik setelah
hepatitis virus terutama berat dan cenderung fatal.
Manifestasi klinis dari anemia aplastik :
a.
Awitan bertahap ditandai dengan kelemahan dan pucat;
sesak napas saat latihan.
b.
Perdarahan abnormal pada sepertiga pasien.
c.
Adanya granulosit ditunjukkan dengan demam, faringitis
akut, bentuk sepsis lain dan perdarahan (Smeltzer,dkk; 2001: 26).
Dalam berbagai keadaan, anemia aplastik terjadi saat
obat atau bahan kimia masuk dalam jumlah toksik. Namun pada beberapa orang, dapat
timbul pada dosis yang dianjurkan untuk pengobatan (Smeltzer,dkk; 2001: 939).
4)
Anemia Hemolitika
Pada anemia hemolitika, eritrosit memiliki rentang
usia yang memendek. Sum – sum tulang biasanya mampu mengkompensasi sebagian
dengan memproduksi sel darah merah baru tiga kali atau lebih dibanding
kecepatan normal.
Konsekuensinya semua anemia jenis ini mempunyai
gambaran laboratoris yang sama yaitu jumlah retikulosit meningkat, fraksi bilirubin
indirek meningkat dan haptaglobin (protein yang mengikat hemoglobin bebas)
biasanya rendah. Sum – sum tulang menjadi hiperseluler akibat proliferasi
eritrosit (Smeltzer,dkk; 2001: 943).
5)
Anemia Hemolitika Turunan
a)
Anemia Sferositosis Turunan
Sferositosis turunan merupakan suatu anemia hemolitika
ditandai dengan sel darah merah kecil berbentuk sferis dan pembesaran limpa
(splenomegali) merupakan kelainan yang jarang, diturunkan secara dominan.
Kelainan ini biasanya terdiagnosa pada anak – anak namun dapat terlewat sampai
dewasa karena gejalanya sangat sedikit, penanganannya berupa pengambilan limpa
secara bedah (Smeltzer,dkk;
2001: 943).
b)
Anemia Sel Sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat
adanya defek pada molekul hemoglobin yang disertai serangan nyeri. Defeknya
adalah satu substitusi asam amino pada ranta β hemoglobin. Karena hemoglobin
anormal mengandung 2 rantai α dan 2 rantai β, maka terdapat 2 gen untuk sintesa
tiap rantai (Smeltzer,dkk;
2001: 943).
4. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan kegagalan sum – sum atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum – sum
(berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan
toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel
darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi).
Diakibat defeks dari sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel
darah merah normal atau akibat beberapa faktor diluar sel darah merah yang
menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama
dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati
dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin, yang terbentuk dalam
fagosit, akan memasuki aliran. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah
(hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam
sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka
hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptaglobin plasma (protein pengikat untuk
hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya. Hemoglobin akan terdisfusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin.
Jadi ada atau tidaknya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberitahu
informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal. Pada pasien
dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses
hemolitik tersebut (Smeltzer,dkk; 2001: 935).
-
Intoleransi aktifitas
-
Kelemahan
-
Keletihan
-
Malise umum
|
Metabolisme tanpa
|
Perubahan perfusi
jaringan
|
-
Kulit pucat
-
Ekstremitas dingin
-
Perubahan tekanan darah
-
Pengisian kapiler lambat
|
ATP menurun
|
-
Pusing
-
Penurunan konsentrasi
-
Penglihatan berkunang - kunang
|
ke otak
berkurang
|
Perdarahan
(Hemolisis)
|
Berkurangnya Sel
darah merah
|
Berkurangnya
eritroposis
|
Nutrisi
|
Hb menurun
(Anemia)
|
Zat transportasi
berkurang
|
Kegagalan sum-sum
tulang
|
Skema 2.5
(Ringkasan skematis yang dirumuskan dari
teori Brunner & Suddarth, 2001)
5. Manifestasi Klinis
Gejala anemia tergantung pada kelainan yang mendasarinya serta tingkat
keparahan dan lamanya onset anemia, makin cepat berkembangnya, maka akan makin
berat gejala – gejalanya.
Adapun tanda & gejala anemia sebagai berikut :
a.
Tanda – tanda dan gejalan – gejala umum (Baughman, 2006: 23).
1)
Kelemahan, keletihan, malaise umum
2)
Pucat pada kulit dan membran mukosa
3)
Sakit kepala
4)
Penglihatan berkunang – kunang (dizzyness)
5)
Susah konsentrasi
b.
Pada anemia yang lebih berat atau yang onsetnya cepat (Davey, 2005: 78).
1)
Kelelahan
2)
Edema perifer, misalnya bengkok pada kaki
3)
Sesak nafas; terutama jika ada penyakit jantung atau
paru.
4)
Angina, jika ada penyakit jantung koroner, yang mungkin
tidak diketahui sebelum timbulnya anemia.
c.
Gejala – gejala spesifik pada kadar hemoglobin
(Baughman, 2006: 23).
1)
Sedikit takikardia pada aktivitas (Hb 9-11 g / dl)
2)
Dispnea pada aktivitas (Hb dibawah 7 g / dl)
3)
Kelemahan (Hb dibawah 6 g / dl)
4)
Dispnea pada saat istirahat (Hb dibawah 3 g / dl)
5)
Gagal jantung hanya pada kadar yang sangat rendah
misalnya 2 – 2,5 g / dl.
6. Penatalaksanaan
Anemia merupakan kelainan fisiologis; bukan suatu diagnosis. Oleh
karenaya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa penyakit. Adapun penatalaksanaan
anemia menurut Smeltzer,
2001: 939 – 941 adalah
sebagai berikut :
a.
Anemia Aplastik : anemia aplastik mempunyai prognosis
yang sangat buruk. Dua metode penanganan yang saat ini sering dilakukan yaitu
tranplantasi sum – sum tulang, pemberian terapi imunosupresif dengan globulin antitimosit
(ATG), dan transfusi darah
b.
Anemia Defisiensi besi : berbagai preparat besi oral
tersedia untuk penanganannya : sulfat ferosus, glukonat ferosus dan fumanat
ferosus dan fumarat ferosus dan anjurkan makan sumber makanan tinggi besi, dan
pemilihan diet seimbang sangat dianjurkan. Transfusi darah hanya diberikan pada
Hb < 5 g / dl
c.
Anemia Megaloblastik : pemberian vitamin
diberikan
tiap hari, namun kemungkinan kebanyakan pasien dapat di tangani dengan
pemberian vitamin
100 g 1 M
tiap bulan dan penanganan meliputi diet serta penambahan asam folat 1 mg per
hari.
7. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran klinis dan ciri morfologis eritrosit mengharuskan dibuatnya
apusan darah tepi. Pemeriksaan berikut seringkali bermanfaat menurut Davey, 2005: 79 adalah sebagai berikut :
a.
Menentukan status hematinik (simpanan Fe, vitamin
dan folat)
b.
Apus darah tepi bisa menegakkan diagnosis penyakit
hematologis primer dan juga penyakit sistemik
c.
Hitung darah lengkap untuk mencari jumlah leukosit atau
trombosit bisa membantu kenaikan jumlah leukosit menunjukkan :
d.
Pemeriksaan apus sum – sum tulang, jarang digunakan
e.
Biokimiawi ginjal dan hati bisa menegakkan diagnosis
kelainan organ spesifik yang mendasari.
f.
Penanda peradangan (laju endap darah {LED} atau protein
reaktif – C {CRP} seringkali meningkat pada anemia akibat penyakit kronis,
seperti keganasan di seminata, sepsis atau vaskulitis
g.
Keadaan tiroid : hipotiroidisme bisa menyebabkan anemia
makrositik atau normositik.
h.
Kultur darah bisa bermanfaat bila ada dengan sepsis.
C.
Konsep Dasar
penyembuhan Luka
1. Pengertian
Penyembuhan luka
adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak sel. Proses yang
dimaksudkan disini karena penyembuhan luka melalui beberapa fase. Fase tersebut
meliputi : koagulasi, imflamasi, proliferasi, dan remodeling (Suryadi, 2007: 5).
2. Fase
– Fase Penyembuhan Luka
a)
Fase Koagulasi dan Imflamasi
Pada fase
koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet.
Kemudian segera setelah injury, penyembuhan suatu flug fibrin dan sel – sel
radang dan dengan cepat masuk ke dalam luka (Hunt TK, 2003). Awal pengeluaran platelet menyebabkan
vasokonstriksi dan terjadi koagulasi dan pada fase inflamasi mulainya dalam
beberapa menit setelah luka dan kemudian dapat berlangsung sampai beberapa
hari. Selama fase ini, sel – sel inflamatory terikat dalam luka dan aktif
melakukan pergerakan dengan lekosites (Polymorphonuclear Leukocytes atau
Neutropbil). Yang pertama kali muncul dalam luka adalah neutropil. Neutropil
akan mempagosit kemudian membunuh bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam
persiapan untuk jaringan baru (Suryadi, 2007: 6).
b)
Fase Proliferasi Dan Remodeling
Apabila tidak ada
infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka akan cepat terjadi fase
proferasi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses granulasi dan konstraksi.
Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka,
pada fase ini makrofag dan lymphocytes masih ikut berperan, tipe sel epitelial,
fibroblast, dan sel endotelial. Proses ini tergantung pada metabolik,
konsentrasi oksigen dan faktor pertumbuhan. Fase proliferasi biasanya mulainya
3 hari setelah injury (Suryadi, 2007: 10).
Pada fase
remodeling yaitu banyak terdapat komponen matriks. Serabut–serabut kolagen
meningkat secara bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase
untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang utama pada
matrik serabut kolagen menyebar dengan saling terikat dan menyatu dan berangsur
– angsur menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan 5
karakter tergantung pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus –
menerus (Suryadi, 2007: 11).
3. Fisiologi
Penyembuhan Luka
Injuri Jaringan
|
Hemoragik,
aktivasi platelet dan degranulasi, aktivasi komplemen, pembekuan dan
hemotasis
|
Rekrut sel melalui kemotaksis, fagositosis dan
debridement
|
Pengeluaran
sitokain, dan mediator bioaktif lain, pertumbuhan sel dan aktivasi,
reepitelialisasi fagositosis dan debridement
|
Terputusnya
jaringan baru, remodeling ekstraseluler matrik dan penutupan luka
|
Neovaskularisasi,
pembentukan jaringan granulasi, kontraksi luka
|
Skema
2.6
Fisiologi
penyembuhan luka
(Fisiologi
Penyembuhan Luka, Suryadi, 2007)
4. Faktor
Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka
terutama pada luka kronik adalah suatu proses kompleks yang meliputi berbagai
macam faktor interaksi untuk perbaikan struktur dan fungsi setelah jaringan
mengalami injury.
Adapun faktor umum
yang dapat mengganggu penyembuhan luka seperti : usia, insufisiensi perfusi
oksigen, malnutrisi, meningkatnya tingkat bakteri, jaringan luka yang sudah
tua, karena tertekan, stress psikologis, dan efek samping dari terapi.
Kurangnya masukan
oksigen dan perfusi; penyembuhan luka akan tergantung pada suplai oksigen. Hal
ini karena oksigen merupakan kritikal untuk leukosit dalam menghancurkan
bakteri dan untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. Selain itu
dengan kekurangan oksigen dapat menghambat aktivitas fagositosis. Bila netrofil
dan makrofag memakan benda asing atau mikroorganisme, oksigen lebih banyak
dibutuhkan untuk selama fase istirahat. Dalam keadaan anemia faktor penting
adalah terjadi penurunan oksigen jaringan dan menghambat penyembuhan luka,
namun pada anemia tahap ringan tidak menghasilkan penghambatan dalam
penyembuhan luka, kecuali anemia yang berat atau hematokrit kurang dari 20mg%,
jadi terkait dengan pasien anemia dan pengaruhnya pada penyembuhan luka adalah
tidak adekuatnya sirkulasi volume (Suryadi, 2007: 94).
Terkait pada kasus
anemia, khususnya anemia aplastik pada insidennya di perkirakan oleh adanya
faktor lingkungan seperti pemakaian obat
– obat yang tidak pada tempatnya dan
merupakan salah satu pencetus utama penyakit anemia, sehingga dapat di kaitkan
pada faktor penghambat penyembuhan luka (Http:/ ms. wikipedia. org/ wiki/
penyakit anemia: 26 Juni 2009).
D.
Asuhan
Keperawatan secara teoritis pada Klien dengan Ganguan Sistem Hematologi : Anemia
(Pendarahan)
Proses keperawatan adalah
metode pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya.
Adapun tahap-tahap dalam asuhan
keperawatan terdiri dari serangkaian dari lima komponen atau tahap, yaitu :
pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1.
Pengkajian
Pengkajian mencakup data yang
dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan, pengkajian fisik,
pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya
(Doengoes, 1999: 6).
Adapun pengkajian dasar menurut
(Doengoes, 2000: 569 –
581) pada klien anemia adalah:
a.
Data biografi meliputi nama klien, umur, jenis kelamin,
agama, suku, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor registrasi medik, ruangan dan diagnosa medis.
b.
Riwayat kesehatan yang lalu berupa penyakit dahulu yang
berhubungan dengan keluhan sekarang.
c.
Riwayat keluhan sekarang meliputi kapan keluhan itu
timbul, apakah sudah berobat dan keluhan apa yang dirasakan.
d.
Data keluhan fisiologis dasar
1)
Aktifitas / istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan,
malaise umum, kehilangan produktivitas, kebutuhan untuk tidur, toleransi
terhadap latihan rendah.
Kebutuhan
untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : Takikardi/takipnea;
dispnea pada bekerja dan istirahat.
Lethargi, menarik diri, apatis,lesu, dan kurang
tertarik pada
sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksi, tubuh tidak tegak.
2)
Sirkulasi
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis, palpitasi.
Tanda : TD: peningkatan
sistolik dengan diastolic stabil dan Tekanan nadi melebar; hipotensi
postural.
Disritmia:
Abnormalitas EKG.
Bunyi
jantung: Murmur sistolik (DB).
Ekstremitas
(warna): pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjugtiva, mulut, faring,
bibir) dan dasar kuku.
Sclera:
Biru atau putih seperti mutiara.
Pengisian
kapiler lambat.
3)
Integritas ego
Gejala : Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pilihan pengobatan
misalnya, penolakan transfusi darah.
Tanda : Depresi.
4)
Eleminasi
Gejala : Riwayat
pielonefritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsorpsi.
Hematemesis, feses dengan darah segar,
melena.
Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
Tanda : Distensi abdomen.
5)
Makanan / cairan
Gejala : Penurunan masukan diet, nyeri mulut atau lidah, mual muntah,
adanya penurunan berat badan.
Tanda : Membran mukosa kering atau pucat, turgor kulit buruk.
6)
Hygiene
Tanda :
Kurang bertenaga, penampilan tidak
rapi.
7)
Neurosensori
Gejala :
Sakit kepala, insomnia, kelemahan.
Tanda :
Peka rangsang, mental lambat,
oftalmig, epistaksis.
8)
Nyeri/kenyamanan
Gejala :
Nyeri abdomen samar, sakit kepala.
9)
Pernapasan
Gejala :
Riwayat TB, abses paru.
Napas pendek pada saat istirahat dan aktivitas.
Tanda :
Takipnea, ortopnea, dan dispnea.
10) Keamanan
Gejala :
Riwayat pekerjaan terpajan terhadap
bahan kimia, riwayat kanker, tidak toleran terhadap dingin / panas, gangguan penglihatan.
Tanda :
Demam rendah, petekie dan ekimosis.
11) Seksualitas
Gejala :
Perubahan aliran menstruasi, hilang
libido, impotent.
Tanda :
Serviks dan dinding vagina pucat.
2.
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan :
Diagnosa keperawatan adalah cara
mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta
respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (NANDA), sedangkan intervensi
keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku yang diharapkan dari pasien dan /
atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Adapun diagnosa pada klien dengan
anemia adalah sebagai berikut:
a.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutriasi ke sel.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : menunjukkan perfusi adekuat misalnya TTV
stabil, membran mukosa berwarna merah muda, pengisian kapiler baik, pengeluaran
urin adekuat; mental seperti
biasa.
Intervensi:
1)
Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna
kulit/membran mukosa, dasar kuku.
2)
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
3)
Awasi pernafasan, auskultasi bunyi nafas.
4)
Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
5)
Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, bingung.
6)
Orientasikan pasien sesuai kebutuhan.
7)
Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan
dan tubuh hangat sesuai indikasi.
8)
Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air
panas.
9)
Kolaborasi pemeriksaan laboratorium.
10) Berikan
SDM darah lengkap.
11) Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi.
b.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak
keseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : melaporkan peningkatan toleransi
aktivitas, menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi misalnya, TD,
nadi, pernafasan masih dalam rentang normal.
Intervensi:
1)
Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas, catat
laporan kelelahan, keletihan dan kesulitan menyelesaikan tugas.
2)
Kaji kehilangan keseimbangan gaya jalan, kelemahan
otot.
3)
Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah
aktivitas.
4)
Berikan lingkungan tenang.
5)
Ubah posisi pasien dengan perlahan atau pantau terhadap
pusing.
6)
Prioritaskan jadwal
asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
7)
Berikan bantuan dalam aktivitas / ambulasi bila perlu.
8)
Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien.
9)
Gunakan teknik penghematan energi misalnya, mandi
dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas.
10) Anjurkan
pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek,
kelemahan atau pusing terjadi.
c.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan yang diperlukan untuk pembentukan SDM normal.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : menunjukkan peningkatan, tidak
mengalami tanda malnutrisi,
menunjukan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau
mempertahankan berat badan yang sesuai.
Intervensi:
1)
Kaji riwayat nutrisi.
2)
Observasi dan catat masukan makanan pasien.
3)
Timbang berat badan tiap hari.
4)
Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering.
5)
Observasi dan catat kejadian nual muntah, platus dan
gejala lain.
6)
Berikan dan bantu hygiene yang baik.
7)
Konsul pada ahli gizi.
8)
Pantau pemeriksaan laboratorium.
9)
Berikan obat sesuai indikasi.
10) Berikan
diet halus, rendah serat, hindari makanan panas / pedas atau asam.
11) Berikan
suplemen nutrisi.
d.
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist (anemia).
Hasil yang diharapkan / evaluasi : mempertahankan integritas kulit,
mengidentifikasi faktor resiko / perilaku individu untuk mencegah cedera
dermal.
Intervensi:
1)
Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor.
2)
Ubah posisi secara periodik.
3)
Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih.
4)
Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.
e.
Diare atau konstipasi berhubungan dengan penurunan
masukan diet, perubahan proses pencernaan, efek samping terapi obat.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : membuat atau mengembalikan pola normal
dari fungsi usus, menunjukkan perubahan perilaku pola hidup yang diperlukan
sebagai penyebab, faktor pemberat.
Intervensi:
1)
Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan
jumlah.
2)
Auskultasi bunyi usus.
3)
Awasi masukan dan pengeluaran dengan perhatian usus
pada makanan.
4)
Dorong masukan cairan 2500 – 3000 ml/hari dalam
toleransi jantung.
5)
Hindari makanan yang berbentuk gas.
6)
Kaji kondisi kulit perianal dengan sering.
7)
Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang
dengan tinggi serat.
f.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan
sekunder tidak adekuat.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : mengidentifikasi perilaku untuk mencegah
atau menurunkan resiko, meningkatkan penyembuhan luka, bebas drinase atau eritema, dan demam.
Intervensi:
1)
Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan
dan pasien.
2)
Pertahankan teknik aseptik ketat pada prosedur
perawatan luka.
3)
Berikan perawatan kulit perianal dan oral dengan
cermat.
4)
Dorong perubahan posisi / ambulasi yang sering.
5)
Tingkatkan masukan cairan adekuat.
6)
Pantau atau batasi pengunjung.
7)
Pantau suhu.
8)
Amati eritema / cairan luka.
9)
Ambil spesimen untuk kultur atau sensitifitas sesuai indikasi.
10) Berikan
antiseptik topikal, anti biotik sistemik.
g.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi
prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi.
Hasil yang diharapkan / evaluasi : menyatakan pemahaman
proses penyakit, prosedur diagnostik, dan rencana pengobatan, mengidentifikasi factor penyebab, melakukan
tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi:
1)
Berikan informasi tentang anemia spesifik.
2)
Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan
diagnostik.
3)
Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan
laboratorium tidak akan memperburuk anemia.
4)
Tinjau perubahan diet yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan diet khusus.
5)
Dorong untuk menghentikan merokok.
6)
Instruksikan dan peragakan pemberian mandiri preparat besi
oral.
7)
Diskusikan
pentingnya hanya meminum obat yang diresepkan.
8)
Sarankan
minum obat dengan makanan atau segera setelah makan.
9)
Tekankan
pentingnya memelihara kebersihan mulut.